Dogmatika Tentang Trinitas
1.
Penghayatan
Doktrin Trinitas Oleh Tokoh Augustinus, Mathin Luther dan Yohanes Calvin
2.
Penghayatan Doktrin Trinitas Oleh Teolog-Teolog Abad 20
i. Trinitarianisme Mono Personal,
ii. Trinitarianisme Sosial,
iii. Trinitarianisme Posisi
Tengah
I.
Pendahuluan
Trinitas
merupakan doktrin yang menyangkut tentang Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Kali
ini kita akan membahasan mengenai penghayatan doktrin Trinitas dari tokoh
Augustinus, Martin Luther, dan Yohanes Calvin, juga penghayatan Doktrin
Trinitas oleh para teolog-teolog abad ke-20. Dengan ini kita akan mengetahui
apa penghayatan yang mereka sumbangakan dalam memahamai Doktrin Trinitas ,
semoga bermanfaat bagi kita semua.
II.
Pembahasan
2.1
.
Pengertian Trinitas
Trinitas adalah doktrin Kristen
mengenai ketritunggalan Allah. Allah yang dinyatakan sebagai Bapa, Anak, dan
Roh Kudus kesemuanya adalah Allah tetapi dibedakan tersendiri. Trinitas dalam
doktrin kristen mengenai ketritungalan
Allah dirumuskan oleh gereja setelah penelitian terus menerus atas Alkitab, Allah yang Esa yang dinyatakan
sebagai Bapa, Anak dan Roh Kudus, kesemuanya adalah Allah, tetapi kesemua oknum
dibedakan menjadi tersendiri.[1]
2.2.
Latar Belakang Doktrin Trinitas
Pertanyaan tentang
Monoteisme kristen. Jawabanya sudah final, yaitu pengakuan Iman Nicea.
Konstantinopel. Semua gereja-geraja yang mengaku di sepanjang zaman/ abad yang
mengaku sebangi Gereja yang Kudus dan AM harus menganut pengakuan Iman Nicea
Konstantinopel, itu berarti bahwa pengakuan tentang Trinitas hanya satu, yaitu
Pengakuan Iman Nicea Konstantinopel tidak ada dua ajaran Trinitas tetapi hanya
satu ( Nicea Konstantinopel) Pengakuan
itu dalam tiga bahasa yaitu :
·
Bahasa
Latin disebut :Tres Personae una substantia
·
Bahasa
Yunani disebut : Tres hyponasis homo ousia
·
Bahasa
Indonesia : 3 Pribadi 1 Hakekat
Pada
abad-abad yang pertama gereja yang masih muda ini diperhadapkan dengan
persoalan-persoalan, dimana pengakuan yang diambil-alih dari ajaran Yahudi, yaitu
bahwa Tuhan Allah adalah Esa dan
pengakuan bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan. Oleh karena itu maka
timbulah persoalan, apakah dengan demikian orang Kristen menyembah kepada Allah
yang lebih dari satu? Dan di sepanjang sejarah ini tampaklah pergumulan Gereja
untuk merumuskan kepercayaannya mengenai Tuhan Allah.
Didalam pergumulan ini gereja satu pihak berusaha
untuk mempertahankan keesaan Allah dengan melepaskan ketritunggalannya, artinya
bahwa sedemikian menekankan kepada ajaran bahwa Allah adalah Esa, sehingga
sebutan Bapa, Anak, dan Roh Kudus seolah-olah dipandang sebagai sifat-sifat
Allah saja. Di pihak lain gereja juga bergumul dengan mempertahankan
ketritunggalan Allah dengan melepaskan keesaannya, artinya : bahwa orang
sedemikian menekankan kepada perbedaan di antara Bapa, Anak, Roh Kudus,
sehingga ketiganya itu seolah-olah berdiri sendiri-sendiri tanpa ada
kesatuannya.[2]
2.3. Latar Belakang Augustinus
Augustinus lahir pada tahun 354 di Thagaste
(di Afrika Utara). Waktu itu bapanya masih kafir, tetapi ibunya, Monnica adalah
seorang Kristen yang sangat saleh. Waktu Augustinus berumur 16 tahun pergilah
ia ke Carthago untuk menuntut ilmu pidato untuk menjadi rektor (pengacara,
advokat). Ia rajin belajar, lagi pula ia sangat pintar tetapi ia hidup di dalam
percabulan. Dua tahun kemudian ia mendapat seorang anak dari seorang gadis yang
dengannya ia hidup bersama-sama 14 tahun lamanya. Waktu umurnya 19 tahun
Augustinus mulai sadar setelah membaca sebuah kitab filsafat. Mulailah ia
mencari kebenaran yang satu-satunya.[3]
2.3.1.
Penghayatan Doktrin Trinitas oleh Augustinus
Pada
waktu Bapa-bapa bersidang pada tahun 381 M. Agustinus belum lah menjadi
kristen. Saat “Damaskus-Nya belumlah tiba hingga 386 M. Sejak Tahun 395 M; ia menjadi uskup di kota pesisir
Afrika Utara yang kecil dan yang tidak berarti, Hippo Regius, yang dewasa ini
dikenal sebagai Bone. Karya bapa gereja ini, seorang bapa gereja latin yang
paling penting, meliputi suatu variasi yang besar dari lapangan-lapangan yang
paling berbeda-beda. Ia mengebangkan studi megenai ajaran tentang dosa dan
anugerah, demikian juga ajaran tentang gereja. Yang terakhir ini merupakan
pokok yang kontroversial pada zamanya di Afrika. Ajaranya mengenai
sakramen-sakramen menempatakan prasuposisi-prasuposisi bagi perkembangan
selanjutnya dalam abad pertengahan, demikian juga dalam zaman reformasi. Dalam kota Allah, atas dasar iman kristen, ia
memperkembangkan interprestasi-interprestasi atas sejarah yang paling dalam
yang belum pernah ada sebelumnya. Karena itu tidaklah mengherankan tentang
trinitas, khususnya dalam bukunya yang terdiri dari 15 jilid, berjudul mengenai
trinitas. Buku ini dikerjakan selama
dalam beberapa sela, dari tahun 399-419 M. Inilah karta terbesar yang pernah
ditulis mengenai trinitas dalam gereja purba. Dalam mengthisarkan
pemikiran-pemikiran dasar dari karya ini, maka haruslah dicatat, pertama, bahwa
Agustinus terutama menekankan keesaan Allah. Dengan jelas ia melihat bahwa
formula yang dibuat oleh 3 serangkai dari Kappadokia mengenai satu substansi
dan tiga pribadi, akan membawa kita pada interprestasi yang keliru. Pembedaan
yang dibuat oleh mereka antara ousia dan
hypostasis, antara subtansi bersama dan
ungkapan yang berbeda-beda dari pribadi-pribadi itu secara individual, Setegas
mungkin ia mengatakan bahwa trinitas itu adalah satu Allah, bukan tiga Allah.
Patut diperhatikan bahwa Agustinus tidak
mempergunakan konsepsi substasia untuk menujuk pada keberadaan Allah, tetapi esensia. Ia menghindarkan ungkapan substasia, sebab istilah itu kelihatanya
mengimplikasikan bahwa keadilaan Allah hanya dipertalikan dengan subsatansinya,
sedangkan segala kesempurnaan yang dilihat sebagai yang terdapat dalam Allah,
sesungguhnya dipandamg sebagi yang menyatu dengan keberadanya. Kalau konsep substasia yang dipakai, maka Allah
dipahami sebagi pemikul dari sifat-sifatnya dari situ Agustinus berkata bahwa
semua itu adalaah satu Allah, bukan setiap pribadi dari ketiga pribadi itu yang
mempunyai satu hakikat, dan yang satu memilki satu keilahian, yang satu lagi
keagungan, dan yang satu lagi yaitu kemuliaan, demikian juga yang satu memiliki
kehendak yang lainnya kemungkinan untuk melaksanakan kehendak itu dalam
kegiatan. Karena itu, kata Augustinus, tidak ada satu kegiatan dimana hanya
Allah Bapa saja, atau hanya Anak atau hanya Roh Kudus saja yang terlibat dalam
dunia ini, demikian Agustinus, Allah (yaitu ketiga Pribadi itu) memperlihatakan
dan menampilkan “satu Prinsip”. Agustinus memahami keesaan trinitas itu begitu
kuat, sehingga ia mengatakan bahwa bukan hanya Bapa, tetapi juga Anak dan Roh
Kudus terlibat secara aktif dalam inkarnasi anak. Untuk mengungkapakan
pandangan ini Agustinus menciptkan suatu formula yang persis, yang kira-kira
menjelaskan bahwa karya-karya trinitas tidak dapat dipisahkan satu terhadap
lainya dalam hubungan dengan kegiatan mereka yang tertuju keluar, yang berarti
bahwa ketiga pribadi trinitas itu senantiasa bekerja dalam satu konser.[4]
2.4 Latar Belakang Luther
Marthin Luther
dikenal sebagai seorang tokoh reformator
gereja di Jerman pada abad ke-16.
Gerakan Reformasi yang diusahakannya telah menyebabkan berdirinya sebuah gereja
lain di samping Gereja Katolik Roma, yaitu Gereja Lutheran. Luther dilahirkan
pada 10 November 1483 dalam sebuah keluarga petani di Eisleben, Thuringen,
Jerman. Ayahnya bernama Hans Luther dan ibunnya bernama Margaretta. Keluarga
Luther adalah keluarga yang saleh sebagaimana golongan petani di Jerman
sehingga Marthin Luther dibesarkan dalam suasana seperti itu.[5]
2.4.1.
Penghayatan
Doktrin Trinitas oleh Luther
Penghayatan
trinitas oleh Martin Luther, yaitu sesuai dengan keputusan nicea. Bahwa ada
satu hakikat Ilahi, yang disebut Allah dan sesungguhnya juga Allah. Dan ada
tiga pribadi dalam satu hakikat Ilahi ini, setara dalam kuasa dan sama-sama
kekal: Allah Bapa, Allah Anak, Allah Roh Kudus. Ketiganya adalah satu hakikat
Ilahi, kekal, tidak terbagi-bagi, tidak berakhir, mahakuasa, mahaarif, dan maha
baik, satu pencipta dan pemelihara segala sesuatu yang kelihatan dan yang tidak
kelihatan. Istilah “pribadi” haruslah dimengerti sebagaimana Bapa-bapa gereja
menggunakan kaitan ini, bukan sebagi suatu bagian dari yang lain, melainkan
sebagai yang ada dari dirinya sendiri.[6] Luther menpertahankan rumusan tradisional.
dia membaca istilah Tress Personae Una Substantia dari belakang. Yaitu hakikat
ke-Ilahian itu cuman dalam Tiga Pribadi yaitu Bapa, Anak, dsn Roh Kudus. Luther
sering berkata menyangkut kesiapaan Trinitas secarah ontologis. Di Nicea
Konstantinopel orang bertanya” apakah kita berhenti menbicarakan Trinitas?”
jawab Luther kita / Gereja harus selalau membicarakan Trinitas tetapi bukan
Ontologisnya namun Fungsionalisnya, yaitu karya peranan-Nya bagi Dunia.
2.5.
Latar
Belakang Calvin
Yohanes
Calvin adalah seorang pemimpin gerakan reformasi gereja di Swis. Ia merupakan
generasi yang kedua dalam jajaran pelopor dan pemimpin gerakan reformasi gereja
abad ke-16, namun peranannya sangat besar dalam gereja-gereja reformatoris. Gereja-gereja
yang mengikuti ajaran dan tata gereja yang digariskan Calvin tersebar di
seluruh dunia. Gereja-gereja itu diberi nama gereja Calvinis. Di Indonesia
gereja-gereja yang bercorak Calvinis merupakan golongan gereja yang terbesar.
Yohanes Calvin dilahirkan pada tanggal 10 juli 1509 di Noyon, sebuah desa di
sebelah utara kota Paris, Prancis. Ayahnya bernama Gerard Cauvin, ibunya
bernama Jeanne Lefranc. Ia meninggal
dunia ketika Yohanes Calvin masih m uda.[7]
2.5.1.
Penghayatan
Doktrin Trinitas oleh Calvin
Calvin
menerangkan persona sebagai suatu hal yang berdiri sendiri di dalam kehidupan
ilahi, yang satunya dibedakan dengan yang lain, karena sifat-sifat ilahi yang
khas ilahi semata-mata. Kata substansi adalah hypostasis. Yang dimaksud dengan
ousia ialah apa yang membedakan satu macam atau satu rumpun dengan macam atau
rumpu yang lain, serta yang memberi ciri khas kepada macam rumpun atau rumpun
itu. Ousia atau substansi manusia, atau juga disebut zat atau hakekat manusia,
adalah apa yang membedakan manusia dari pada binatang atau tumbuh-tumbuhan
serta dari pada Allah, pendeknya; yang menjadikan manusia disebut manusia,
bukan binatang atau tumbuh-tumbuhan atau Allah. Demikian juga halnya dengan
ousia atau substansi Allah, ialah apa yang membedakan Allah dari pada manusia
dan mahluk-mahluk yang lain, yang oleh
plato disebut”tabiat Allah ”atau”Ketuhanan” yang harus dibedakan dengan “tabiat
insani” atau kemanusiaan”. Diterapkan kepada Tuhan Allah, hal itu diterangakan
sebagai berikut, bahwa Bapa, Anak, Roh Kudus adalah tiga hupostasis di dalam
satu ousia atau tiga persona di dalam satu substansi, atau tiga oknum di dalam
satu zat. Sejak abad ke-18 ini sebenarnya pengertian persona atau oknum telah
tidak mungkin lagi diterapakan guna mengungkapkan pengertian Alkitab yaitu
mengenai Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Oleh karena itu maka banyak para ahli
teologi sekarang yang menterjemahkan ungkapan hypostasis atau persona bukan
dengan oknum, melainkan dengan cara berada, sehingga Calvin merumuskan
ketritunggalan yaitu dengan demikian: Allah adalah satu di dalam substansinya,
tetapi memiliki tiga cara berada[8] Calvin menyoroti kata personai da substantia. Tapi istilah yang dia gunakan
berbeda dengan Augustinus, walaupun berbeda penekanan dia menyoroti kata
substantia, menurutnya substantia adalah sama seperti Augustinus menekankan
bahwa ke hadiran kata essensi pada Trinitas tersebut. Oleh karena itu Calvin
menggunaka kata eksistensi. Jadi ketiga pribadi itu memiliki eksistensi.
Eksistensi dan essensi disi ialah tujuan dan kehendak dan maksud. Hyphotatis
masing-masing pribadi Allah itu bergerak pada dirinya sendiri sehingga dia
tidak menggunakan istilah tersebut tapi dengan istilah subsistansi yang artinya
cara berada.
2.6.
Belakang
Pemikiran Theologis Abad- 20
Hasil
dari konsili nicea dan konsili constantinopel mengenai trinitas tersebut
dihayati kembali oleh para teolog abad 20. Karena perkembangan ilmu pengetahuan
modren dan filsafat, maka timbullah pemikiran teologis yang bermacam macam,
yang semuanya dimaksud untuk menjawab tantangan jaman. Orang yakin bahwa dunia
ini makin lama makin maju kemasa depan yang cerah. Suasana idealistis yang
optimistis ini masih hidup dengan kuat pada awal abad ke-20.
Namun
semua harapan itu benar-benar runtuh setelah pecah perang dunia kedua. Perang
itu menjadikan orang benar-benar kehilangan nilai-nilai semula yang dijunjung
tinggi. Sekali pun demikian abad ke-20 tidak hanya memberi hal-hal yang negatif
saja. Ada juga segi-segi positifnya, yaitu kemampuan manusia dibidang ilmu
pengetahuan dan teknik penemuan-penemuan terus berjalan, yang dianggap tidak
mungkin menjadi mungkin. Namun penemuan-penemuan ini juga membawa persoalan-persoalan nya
sendiri. Yang artinya, suatu negara yang ketinggalan dari negara lain, mereka akan
membutuhkan bantuan-bantuan dari negara yang sudah maju, baik itu dibidang
teknik, ekonomi, bahkan keagaman sekalipun.
Dari
uraian ini, tampaklah betapa rumit persoalan dunia masa kini. Hal ini juga
mempengaruhi pemikiran-pemikiran teologis. Berteologia tidak mungkin hanya
merenung di depan alkitab saja. Berteologi juga bercermin juga pada situasi
disekitar gereja, yang mempengaruhi pemikiran dan perbuatan orang orang
kristen, anggota gereja.[9]
2.7.
Trinitarianisme
Mono Personal
2.7.1.
Pengertian
Trinitarianisme
Trinitarian adalah
sebutan bagi golongan yang percaya pada ajaran Trinitas, yang dipergunakan
untuk menentang ajaran Unitarian, dan
isme adalah aliran. Jadi
trinitarianisme adalah suatu aliran ataupun golongan yang menganut
ajaran tentang Allah yang memiliki tiga pribadi namun satu hakekat.[10]
2.7.2.
Trinitarianisme
Mono Personal
Trinitarianisme
mono personal adalah pandangan kelompok mengenai hakekat Ke-Allahan yang
menyatakan bahwa Allah tritunggal itu satu pribadi.[11] Monopersonal (Arius), sosial (
Tertulianus), tengah ( irenius) ini menari karena seakan-akan mengingatkan tentang
hak sebelum konstantinopel. Monopersonal
Titik persoalan = PERSONAE= PRIBADI Menurut mereka ada pribadi terhadap
zaman tradisi dengan zaman modren. Tradisional = jumlah/ oknum Modren = sifat 3 pressubstensi Sifat Tuhan
hanya 1Jelaskan bagaimana anda memahami Trinitas pada konteks zaman sekarang (
jelaskan lah pribadi dengan kata sifat ) baru jelaskan lah masalahnya
2.7.3.
Keesaan
Allah
Allah
yang tidak tergantung kepada siapapun yang kekal itu, adalah juga Allah yang esa. Disamping Allah, tak ada
Allah lain. Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu esa (Ulangan 6:4), inilah ayat
sahadat yang diucapkan oleh orang Israel dua kali sehari. Inilah berita, yang
dituliskan oleh orang Israel pada ambang pintunya. Tuhan itu esa dengan ini
Alkitab menentang segala macam politisme (menyembah lebih dari satu) dengan ini
Alkitab menentang pula segala angan-angan tentang dewa-dewa yang berpasangan,
dewi dan dewa, yang terdapat dalam bangsa-bangsa lain. Keesaan Allah inipun
berarti, bahwa
Allah adalah Esa dalam diri-Nya sendiri. Di
dalam Allah tidak ada hal yang berlawanan. Disini atau disana tetap sama dengan
dirinya sendiri, didalam segala sifat-sifatnya, segala keadaanya, segala
firmanya dan segala tindakanya, Ia bukan Allah yang bertopeng, yang dapat
menyatakan diri dengan berbagi-bagai macam wajah. Tuhan, Allah kita itu adalah
Alllah esa. [12]Keesaan
Allah pengakuan tentang ketrituggalan Allah tidaklah menghancurkan pengakuan
tentang keesaan Allah. Akan tetapi Alkitab memberitahukan kepada kita, bahwa di
dalam Allah ada kekayaan hidup yang berlimpah-limpah. Allah sampai
selama-lamnya Ia adalah sebagai Bapa, sebagai anak, dan sebagi Roh kudus.
2.7.3.1.Allah Tritunggal dan
Cara Berada-Nya
2.7.3.1.1. Allah yang bersemayam diatas kita (Bapa)
Apabila kita mengaku Allah sebagai Bapa,
maka yang kita maksudkan adalah bahwa Allah adalah pangkal dari sumber segala
hidup dialah “kekuatan segala kekuatan ” dan “hakekat segala hakekat”. Dialah
Bapa segala mahluk hidup. Segala sesuatu berasal daripadanya (1 Kor 8:6).
Dialah khalik dan pemelihara. Inilah cara pertama keadaan (cara berada ) Allah,
yakni bahwa Allah itu adalah Bapa. Kita dapat mengenal Allah sebagai bapa
karena Yesus Kristus. Tidak seorang pun yang pernah melihat Allah; tetapi anak
tunggal Allah, yang ada dipangkuan Bapa, dialah yang menyatakanya (Yoh 1:18).
Melalui Yesus, kita dapat menangkap sedikit tentang kekuasaan Allah yang
menciptakan langit dan bumi, tentang kasih dan pemeliharaan oleh Allah Bapa,
tentang hatinya yang pelindung melalui Yesus Kristus, kita diberanikan percaya,
bahwa Allah Bapa Yesus Kristus, khalik langit dan bumi, atas kemauannya sendiri
Ia juga menjadi Allah kita, dan Bapa kita yang mendukung kita seperti orang
mendukung anaknya
2.7.3.1.2. Allah yang Menyertai
Kita (Anak atau Firman)
Allah mempunyai cara keadaan (cara
berbeda ) yang kedua, dalam Alkitab disebut “Anak ” atau “Firman ”. Apakah
artinya itu? Apakah itu berarti Allah mempunyai anak secara manusia? Cara kelahiran
duniawi? Tidak. Anggapan ini sama sekali bertentangan dengan uraian Alkitab dan
tidak diakui oleh umat kristen yang mana pun. Apabila alkitab mengatakan, bahwa
Allah cara keadaan yang kedua, maka itu
berarti, bahwa Allah mengatakan hatinya dalam cara keadaan yang kedua tadi. Ia
mengadakan persekutuan didalam hakekatnya sendiri. Didalam sejarah pernyataan
Allah ternyata pula bahwa ia mengadakan persekutuan dengan kita, dengan cara
keadaannya (caranya berbeda) yang kedua ini.
2.7.3.1.3. Allah yang bekerja di
dalam kita (Roh kudus)
Tidak ada orang yang tahu apa yang
terdapat dalam diri Allah selain roh Allah (1 Kor 2:11 ). Roh ini dinamakan
juga Roh Kudus. Roh Kudus ini jangan sampai kita campur adukkan dengan Roh
Malaikat atau roh manusia atau roh (semangat
) suatu bangsa. Roh Allah adalah Allah yang keluar dari Allah dan adalah Allah
juga. Dialah cara keadaan ( cara berada) yang ketiga dalam hakekat Allah. Roh
ini pun keluar dari Anak Allah, oleh karena itu kadang-kadang disebut juga Roh
Bapa, yang olehnya kita berseru. Roh ini pun keluar dari Anak Allah, oleh
karena itu kadang-kadang disebut juga Roh Anak atau Roh Kristus (Yoh 16 ). Di
dunia ini bekerja di dalam hati kita. Ia memimpin kita kepada Anak dan dari
Anak kepada Bapa. Segala sesuatu berasal dari pada Allah. Demikianlah pengakuan
kita tentang Allah Bapa. Segala sesuatu adalah oleh Allah. Demikianlah pengakuan kita tentang Anak
Allah. Segala sesuatu adalah kepada Allah. Demikianlah pengakuan kita tentang
Roh Kudus ( Roma 11).[13]
2.7.4.
Karl
Barth (1886-1968)
Karl
Barth adalah seorang teolog besar dalam kalangan gereja reformatoris abad-20.
Ia dilahirkan di Basel, Swiss tahun 1886, ia menjadi pendeta di Genewa (
1909-1921) dan meninggal pada tahun 1968.[14]
Karl bart mempunyai pangakal pemikiran bahwa seorang teolog harus menghormati
firman Allah, bukan menghormati sejarah. Sebab teologi itu teologi tentang
pernyataan atau wahyu Allah. Jadi ilmu teologia tidak boleh berpangkal pada
manusia, kepada gagasan manusia tentang Allah. Ilmu teologia harus berpangkal
pada Allah, kepada gagasan Allah tentang manusia, bagaimana Allah berbicara dan
berfikir tentang manusia. Orang teolog tidak boleh menurunkan kebenaran Allah
dari sejarah, dengan memakai hukum-hukum ilmu sejarah sebagai sarana atau
menurunkan kesadaran beragama manusia dengan hukum-hukum ilmu psikologi sebagai
saranya, atau dengan cara pilsafat merenungkan tentang “yang mutlak”. Seorang
teolog hanya diperkenankan melakukan satu hal, yaitu mendengarkan firman Allah
serta menerangkan firman itu. Seorang teolog harus berdiri dibawah Alkitab.[15]
Dasar pemikiran Kalth Bart dalam hal ini menyatakan bahwa Allah itu adalah
Allah yang berbeda sekali dengan
manusia. Allah berada di sorga, manusia di bumi. Oleh karena itu tema Alkitab
dalam pokoknya menunjukan; nisbah antara manusia dengan Allah. Diantara Allah
dan manusia ada perbedaan yang secara Kualitatif, sehingga keduanya tidak dapat
dibolak-balikan. Diantara Allah dan manusia ada jarak yang tak terjembatani.
Akan tetapi jarak yang terbesar antara Allah dan manusia itu justru menunjukan
kepada kesatuan keduanya. Manusia bersatu dengan Allah, jika ia mau mengakaui
bahwa ada jarak antara dia dengan Allah. Semua yang dikatakan Kalth Barth
mengenai Allah didasarkan atas pernyataan atau wahyu Allah. Yang diberikan dalam
Kristus.[16]
2.7.5.
Karl
Ranher (1904-1914)
Karl
Rahner adalah seorang teolog besar gereja Katolik pada abad ke-20. Ia dilahirkan di Freiburg-im-Breisgau, Jerman,
pada tahun 1904. Rahner memasuki serikat Yesuit pada tahun 1922 dan ditahbiskan
menjadi imam pada tahun 1932. Ia menjadi maha guru dalam bidang teologi
dogmatik di Universitas Inbruck, kemudian di Universitas Munchen dan Munster.[17]
Karl Rahner berpendapat bahwa ketiga pesona tidak bisa dipandang sebagai tiga
Pribadi dalam arti modren. Konsep trinitas yang tradisional persona tidak
berfokus subjektivitas rohani. Dalam pandangan Rahner di dalam Allah tidak ada
lebih dari satu subjektivitas, suatu pusat rohani, satu kebebasan, dan satu
kehendak. Istilah Pribadi juga ada refrensinya dalam kenyataan Ilahi: pada
hakikat-Nya Allah yang satu itu terbuka kepada pribadi-pribadi non-ilahi.
Sebagai subjek yang mutlak, Allah Tritunggal memberikan diri kepada subjek yang
terbatas, yaitu pribadi manusia yang mampu akan transendensi-diri. Apa yang
tiga di dalam Allah itu disebut Rahner, cara bersubsistensi rangkap tiga itu
bukan hanya dan bukan baru terjadi berhubung dengan sejarah keselamatan, tetapi
betul-betul termasuk keberadaan Allah yang imanen. Andaikata tidak demikian
maka Allah tidak sungguh-sungguh mengkomunikasikan diri-Nya sendiri kepada
manusia tetapi hanya tanda-tanda yang mengacu kepadaNya atau pekerjaan yang
mengungkapkan-Nya. Pada hal inti sari injil, yang membuat kabar itu menjadi
mengembirakan, terletak dalam berita bahwa memang diri-Nya sendiri yang
diberikan Allah kepada kita manusia. Oleh karena itu harus ada latar belakang
imanen di dalam Allah bagi pemberian diri itu. Tindakan Allah yang rangkap tiga
itu bersesuaian dengan hakikat Allah yang triganda dan yang memungkinkan
seluruh komunikasi diri Allah itu.[18] Dalam
hal ini Karl Rahner mempertegas bahwa, Allah Tritunggal adalah misteri atau
rahasia Allah. Rahasia Allah menjadi suatu karakter dari Allah sendiri, yang
dipakai untuk mengkomunikasikan diri Allah kepada manusia. Dengan demikian
kemisterian karakter Allah harus tetap di akui dan di pertahankan untuk
mengetahui sifat dan keberadaan Allah
yang sebenarnya.[19]
2.8.
Trinitarianisme
Sosial
2.8.1.
Pengertian
Trinitarianisme Sosial
Trinitarian
adalah sebutan bagi golongan yang percaya akan trinitas yang digunakan untuk
menentang ajaran unitarian.[20]
Sedangkan isme adalah aliran. Jadi
dapat dikatakan bahwa trinitarianisme adalah suatu aliran atau golongan orang
yang menganut ajaran tentang Allah yang memiliki tiga pribadi namun satu
hakekat.[21]
2.8.2.
Konsep
Pemahaman Trinitarianisme Sosial
Trnitarianisme
sosial menunjuk pada pandangan bahwa di dalam Allah terdapat persekutuan dari
Bapa, Anak, dan Roh Kudus sebagi tiga pribadi atau subjek, yaitu sebagai tiga
pusat cinta kasih, kehendak, pengetahuan, dan tindakan berencana yang terpilih
sedemikian rupa sehingga ketiga pribadi Ilahi berhubungan satu sama lain dengan
cara yang bersifat analog, meskipun jauh melebihi hubungan antara para anggota
suatu badan sosial yang terdiri dari tiga mahluk insani. Para penganut model
sosial itu menekankan bahwa yang membuat seseorang “mahluk ” menjadi “person”
ialah relasi dengan pribadi lainnya, dan bahwa dalam hal ini pribadi-pribadi
insane telah dibentuk menurut contoh pribadi-pribadi Allah Tritungal sebab
Trinitas merupakan perwujudan paling sempurna dari prinsip “aku menjadi aku berkat Engkau”[22]. Dalam
Trinitarianisme Sosial ini ada dua tokoh yang terkenal: Sosial Menjelaskan bahwa dia tetap mempertahankan Tres Personae (3
Pribadi) 1 persekutuan ( Una Comunio).
2.8.3.
Jurgen
Moltmann
Moltman
menyatakan bahwa seajarah Trinitas merupakan sejarah tiga subjek dalam hubungan
persekutuan satu sama lain. Moltman memandang keesaan Allah bukan sebagai
identitas satu objek yang tunggal, melainkan sebagai persatuan tiga pribadi.
Untuk trinitas yang bertindak dalam sejarah keselamatan, Moltman mengatakan
bahwa ketiga subjek tersebut berhubungan, akan tetapi, kesatuan Trinitas Imanen
itu lebih erat. Seperti dalam pandangan Schoonenberg, juga dalam teologi
Moltman ada ketegangan antara pribadi ekonomis yang dilukiskan dengan istilah
cukup modern di satu pihak dan para peribadi imanen yang digambarkan dengan
cara yang lebih tradisional di lain pihak.
Proses-proses imanen di dalam Trinitas bersifat adi kodrati, kekal, dan
bahkan niscaya, sedangkan perutusan ekonomis bersifat suka rela, temporal dan bebas. Akan tetapi semua term tersebut dijabarkan menjadi
spontanitas, terutama spontanitas cinta Kasih. Allah mengasih dengan
sendirinya.[23]
2.8.4.
Wolfhart
Pannenberg
Menanggapi
konsep Trinitas Barth, Wolfhart Pannenberg berpaling pada pandangan bahwa “
kalau hubungan Trinitas antara Bapa, Putra, dan Roh Kudus berupa diferensiasi
diri timbal balik, hubungan itu tidak dapat diartiakan sebagai cuma cara berada
yang berlain-lainan saja dari satu subjek Ilahi yang tunggal, tetapi hanya
dapat dimengerti sebagai proses-proses kehidupan dari pusat kegiatan yang
independen. Bapa, Putra, dan Roh Kudus digambarkan sebagai tiga penampakan dari
satu medan dan kekuatan yang diidentifikasi sebagai cinta kasih. Daya cinta lah
yang mendorong para pribadi untuk keluar dari diri sendiri begitu rupa sehingga
mereka menghayati hidupnya bukan dari diri mereka sendiri menuju yang lain,
melainkan dari yang lain menuju diri mereka sendiri. Tiap-tiap pribadi menerima
diri-Nya sendiri menuju yang lain. Pribadi Ilahi mempunyai kodrat yang
“ekstatis”, artinya mempunyai Diri-Nya dalam pribadi yang lain. Pannenberg
mengklaim pendapat Den Bok yang menyatakan bahwa setiap pribadi, sebagai
seorang Aku, menerima Diri-Nya berkat yang lain. Proses menerima dan memberi
ini terjadi di dalam hakikat Allah yang
abadi, namun diteruskan di dalam waktu, di dalam sejarah Allah dengan umat
manusia. Dengan demikian, Diri masing-masing pribadi dipertaruhakan sampai pada
eskaton. Pannenberg memperkuat gagasan ini dengan mengatakan bahwa Allah
memperoleh sifat-sifat-Nya melalui tindakan-tindakan-Nya yang di pilih-Nya
untuk dilakukan ; hakikat-Nya diperoleh secara historis. Trinitas yang terlibat
dalam suatu proses itu akan diselesaikan secara eskatologis[24]
2.9.
Trinitarianisme
Posisi Tengah
Antara
Trinitarianisme monopersonal dengan yang sosial itu terdapat posisi tengah.
Dalam Trinitarianisme posisi tengah ini terdapat dua tokoh, yang memakai paham
‘”pribadi” dalam arti modern yaitu subjek yang mampu akan tindakan dan putusan
serta yang menyadari dirinya sebagai yang tak tergantikan.[25] Allah bagi dirinya adalah mono personae, tapi bagi dunia menyingkap
pada dunia menjadi Tres personae. Intinya Allah secara harafiah adalah 1 tapi
demi kasihnya bagi dunia Ia menyingkapkan diri-Nya dengan 3 Bagi Allah Dia
adalah sama, tetapi bagi dunia Ia adalah berbeda.
2.9.1.
Konsep
Pemahaman Trinitarianisme Posisi Tengah
2.9.1.1. Piet Schoonenberg
Ia mengemukakan tesis bahwa Pribadi
Ilahi yang satu itu menjadi antar pribadi dengan bergerak menuju mahluk-mahluk
insani. “Pribadi” bila diterapakan pada Allah, berlaku bagi Allah yang dapat
disebut Sang Bapa, sedangkan Sang Putra dan Roh hanya secara “ ekonomis” saja
menjadi Pribadi-Pribadi: berkat pergerakan diri Allah menuju manusia maka Putra
dan Roh semakin “memprofilasikan”
diri-Nya sendiri. Dinamika yang disebut “personalisasi”
atau “hypostasasi” ini mempunyai
akibat menarik seperti walaupun secara imanen terdapat satu pribadi dengan dua
“pancaran” yaitu Sabda dan Roh, namun secara ekonomis (khususnya sejak
inkarnasi) terdapat interpersonalitas yang sungguh-sungguh. Schoonenberg dapat
mengatakan bahwa putra dan roh memperibadikan diri sendiri, tetapi
menganggapnya lebih tepat untuk mengatakan bahwa pribadi Bapa memperibadikan
Sabda-Nya menjadi Putra dan Roh-Nya. Putra-Nya Dengan cara demikian Bapa
memperibadikan diri-Nya sendiri. Proses pergerakan Allah menuju manusia itu
bersifat abadi dan di kehendaki-Nya dengan bebas proses ini berlangsung dalam
hakikat Allah, karena diri Allah sendiri lah yang di peribadikan-Nya dalam
kontak dengan mahluk ciptaan-Nya itu. [26]
2.9.1.2. Hans Urs Von Balthasar
Hans Urs von Balthasar berpandangan,
untuk mendekati misteri Tritunggal kedua sudut pandang perlu, baik sudut mono
personal maupun sudut social. Dalam pandangannya ini setiap mahluk insani dapat
menjadi seorang pribadi (person) dengan memperoleh suatu derajat atau martabat
yang lebih individualistis dan subjektivitas metal dan menghindarkannya dari
merosot dan jatuh ke individualisme dan kolektivisme, dalam animalisme atau
voluntarisme dan rasionalisme. Martabat ini di jelaskan dengan dua cara. Pertama, secara kristologis dan
antropologis orang menjadi pribadi berkat perutusan-Nya. Kristus itu pribadi
karena di utus seluruh-Nya (oleh Bapa); mahluk-mahluk insani akan menjadi
pribadi-pribadi sejauh mereka membiarkan dirinya di utus (dengan menjadi kristus,
maka Kristiani). Kedua, dalam teologi
Trinitas “pribadi” di defenisikan sebagai dirinya yang secara sempurna
menyangkal diri, terdiri dari kasih murni yang meberikan segala sesuatu kepada
orang lain.[27]
III.
Kesimpulan
Dari
pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa Augustinus menghayati doktrin Trinitas
bahwa Ia menekankan keesaan Allah yang
dimana dari ketiga Pribadi itu merupakan satu Allah dan satu Hakikat tidak ada
perbedaan diantara ketiga itu, lalu Martin Luther menghayati bahwa Ketiganya
adalah satu hakikat Ilahi, kekal, tidak terbagi-bagi, tidak berakhir,
mahakuasa, maha arif, dan maha baik, satu pencipta dan pemelihara segala
sesuatu yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, sedangkan Calvin menghayati
doktrin Trinitas dengan mengatakan bahwa Allah adalah satu di dalam
substansinya, tetapi memiliki tiga cara berada, dan sifat dari ketiga ini
adalah berbeda. Begitu juga
Penghayatan Doktrin Trinitas Oleh
Teolog-Teolog Abad 20 yang pertama yaitu Trinitarianisme Mono Personal Trinitarianisme mono personal adalah
pandangan kelompok mengenai hakekat Ke-Allahan yang menyatakan bahwa Allah
tritunggal itu satu pribadi, dan pandangan dari teolog abad ke-20 yaitu yang
pertama Karl Barth mengatakan bahwa menyatakan bahwa Allah itu adalah Allah Ia
berbeda sekali dengan manusia Allah
berada di sorga, manusia di bumi. Diantara Allah dan manusia ada perbedaan yang
secara Kualitatif, sehingga keduanya tidak dapat dibolak-balikan dan diantara
Allah dan manusia ada jarak yang tak terjembatani.
Sedangkan penghayatan oleh Tokoh Karl Rahner
mengatakan bahwa Allah Tritunggal adalah misteri atau rahasia Allah, rahasia
Allah menjadi suatu Karakter dari Allah sendiri yag dipakai untuk
mengkomunikasikan diri Allah kepada manusia, dengan kemisteria, karakter Allah
harus tetap diakui dan diperhatikan untuk mengetahui sifat dan keberadaan Allah
yang sebenarnya. Dan dalam Trinitarianisme
Sosial dinyatakan bahwa Trinitas merupakan tiga pribadi. Trinitarianisme sosial
ini menurut Den Bok menunjuk kepada pandangan bahwa, di dalam Allah terdapat
persekutuan dari Bapa, Putra, dan Roh Kudus sebagai tiga pribadi atau subjek
dalam arti penuh, yaitu sebagai tiga pusat cinta kasih, kehendak, pengetahuan,
dan tindakan berencana yang terpilih-pilih sedemikian rupa sehingga ketiga
pribadi Ilahi berhubungan-hubungan satu sama lain. Trinitarianisme Monopersonal
dengan yang sosial terdapat posisi tengah, yang artinya mampu akan tindakan dan
putusan serta yang menyadari dirinya sebagai yang tak tergantikan. Allah bagi dirinya adalah mono personae, tapi bagi dunia menyingkap pada
dunia menjadi Tres personae. Intinya Allah secara harafiah adalah 1 tapi demi
kasihnya bagi dunia Ia menyingkapkan diri-Nya dengan 3 Bagi Allah Dia adalah
sama, tetapi bagi dunia Ia adalah berbeda.
IV.
Daftar
Pustaka
Becker Theol Dieter, Pedoman Dogmatika,
Jakarta:BPK-Gunung Mulai, 2009
Browning W.R.F. Kamus Alkitab, Jakarta: BPK-GM .2014
Dister Nico Syukur,Teologi Sistematika 1,Yogyakarta:
KANISIUS ,2004
Hadiwijono Harun,Teologi Reformatoris Abad ke-20,
Jakarta:BPK –GM,1999
Hadiwijono
Harun, Iman Kristen, Jakarta: Gunung Mulia,2014
I.H.
Enklaar H. Berkhof, Sejarah Gereja,
Jakarta: Gunung Mulia, 1991
Lohse Bernhard, Pengantar Sejarah Dogma Kristen,
Jakarta:BPK-Gunung Mulia,2004
Mueler
Thedore John, Cristian Dogmatis USA: Concordia Pusblising
House, 1995
Tappert
G Teodare , Buku Konkord Konfesi Gereja Lutheran, Jakarta: BPK-Gunung Mulia,
2004
Urban Linwood, Sejarah Ringkas Pemikiran
Kristen,Jakarta: BPK-GM,2003
Verkuyl J, Aku Percaya, Jakarta: BPK-Gunung Mulia,
1987
Wellem F .D, Kamus Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-GM,
2011
Wellem F.D, Riwayat Hidup Singkat, Jakarta : Gunung
Mulia, 2011
[1] W.R.F. Browning. Kamus Alkitab .
( Jakarta: BPK-GM .2014), 458
[2] Harun. Hadiwijono, Iman Kristen,
(Jakarta: Gunung Mulia,2014) 104
[3] H. Berkhof, & I.H. Enklaar, Sejarah
Gereja, (Jakarta: Gunung Mulia, 1991), 62
[4] Bernhard Lohse, Pengantar
Sejarah Dogma Kristen, (Jakarta:BPK-Gunung Mulia,2004 ), 84-86
[5] F.D. Wellem, Riwayat Hidup
Singkat, (Jakarta : Gunung Mulia, 2011), 124
[6] Teodare. G. Tappert, Buku
Konkord Konfesi Gereja Lutheran,(Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2004), 36-37
[7] F.D. Wellem, Riwayat Hidup
Singkat, (Jakarta : Gunung Mulia, 2011), 49-50
[8] Harun. Hadiwijono, Iman Kristen,
(Jakarta: Gunung Mulia,2014), 109-110
[9] Harun Hadiwijono,Teologi
Reformatoris Abad ke-20,(Jakarta:BPK –GM,1999)20-21
[10] F .D. Wellem, Kamus Sejarah
Gereja, (Jakarta: BPK-GM, 2011), 459
[11] Nico Syukur Dister,Teologi
Sistematika 1,(yogyakarta: KANISIUS ,2004) 165
[12] J. Verkuyl, Aku Percaya, (Jakarta:
BPK-Gunung Mulia, 1987), 36, 44
[13] J.Verkuyl, Aku Percaya, (
Jakarta: Gunung Mulia,1987),46-47
[14] F.D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat, Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja, (Jakarta:BPK-GM,2009), 28
[15] Harun Hadi Wijono, Teologi
Refomatoris Abad ke 20, (Jakarta:BPK-Gunung Mulia, 2007), 27-28
[16] Harun Hadi Wijono, Teologi Reformasi Abad ke-20, 28-29
[17] F.D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat, Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja,(Jakarta: BPK-Gunung
Mulia,2011),161
[18] Nico Syukur Diester, Teologi
Sitematika I, 166-167
[19] Darwin Lumban Tobing, Teologi
Pasar Bebas, 158-159
[20] F. D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, (Jakarta:BPK-Gunung
Mulia, 2011), 459
[21] Nico Syukur Diester, Teologi Sitematika I, 164
[22] Nico Syukur Diester, Teologi
Sitematika I, 169
[23] Nico Syukur Dister,Teologi
Sistematika I, 170
[24] Nico Syukur Dister,Teologi
Sistematika I, 170-171
[25] Nico Syukur Diester, Teologi
Sistematika I, 167
[26] Nico Syukur Dister,Teologi Sistematika
I, 167-168
[27] Nico Syukur Dister,Teologi
Sistematika I, 168-169
Shalom bapak, ibu saudara/i di manapun berada. Apakah Sudah ada yang pernah mendengar tentang Shema Yisrael? Ini adalah kalimat pengakuan iman orang Yahudi yang biasa diucapkan pada setiap ibadah mereka baik itu di rumah ibadat atau sinagoga maupun di rumah. Yesus juga menggunakan Shema untuk menjawab pertanyaan dari seorang ahli Taurat mengenai hukum yang utama. Kita dapat baca di Ulangan 6 ayat 4 dan pernah juga dikutip oleh Yesus di dalam Injil Markus 12 : 29. Dengan mengucapkan Shema, orang Yahudi mengakui bahwa YHWH ( Adonai ) Elohim itu esa dan berdaulat dalam kehidupan mereka. Berikut teks Shema Yisrael tersebut dalam huruf Ibrani ( dibaca dari kanan ke kiri seperti huruf Arab ) beserta cara mengucapkannya ( tanpa bermaksud untuk mengabaikan atau menyangkal adanya Bapa, Roh Kudus dan Firman Elohim yaitu Yeshua haMashiakh/ ישוע המשיח, yang lebih dikenal oleh umat Kristiani di Indonesia sebagai Yesus Kristus ) berikut ini
BalasHapusTeks Ibrani Ulangan 6 ayat 4 : ” שְׁמַ֖ע ( Shema ) יִשְׂרָאֵ֑ל ( Yisrael ) יְהוָ֥ה ( YHWH [ Adonai ] ) אֱלֹהֵ֖ינוּ ( Eloheinu ) יְהוָ֥ה ( YHWH [ Adonai ] ) אֶחָֽד ( ekhad )
”
Lalu berdasarkan halakha/ tradisi, diucapkan juga berkat: ” ברוך שם כבוד מלכותו, לעולם ועד ” ( " barukh Shem kevod malkuto, le’olam va’ed " ) yang artinya diberkatilah nama yang mulia kerajaanNya untuk selama-lamanya " ). Apakah ada yang mempunyai pendapat lain?.
🕎✡️👁️📜🕍🤴🏻👑🗝️🛡️🗡️🏹⚖️☁️☀️⚡🌧️🌈🌒🌌🔥💧🌊🌬️🏞️🗺️🏡⛵⚓👨👩👧👦❤️🛐🤲🏻🖖🏻🌱🌾🍇🍎🍏🌹🐏🐑🐐🐂🐎🦌🐪🐫🦁🦅🕊️🐟🐍₪🇮🇱⛪