Ajaran Buddha Tentang Dukkha
Ajaran Buddha Tentang Dukkha
I.
Pendahuluan
II.
Pendalaman
2.1.
Pengertian Dukkha
Kata Dukkha
dalam konteks agama Buddha ialah “penderitaan”.[1] Dukkha adalah keadaan tidak memuaskan,
tidak menyenangkan, kesakitan, kedukaan, kesedihan, dan penderitaan yang
dialami oleh seseorang dalam hidupnya.[2] Kata
dukkha tidak hanya mengandung arti
penderitaan pada umumnya, tetapi juga mencakup hal yang lebih dalam lagi
seperti ketidaksempurnaan, kesakitan, ketidakabadian, ketidakselarasan,
ketidaknyamanan, gangguan atau kesadaran akan ketidaklengkapan, dan
ketidakcukupan.[3]
Hidup adalah menderita, kelahiran adalah penderitaan, umur tua adalah
penderitaan, sakit adalah penderitaan, mati adalah penderitaan, disatukan
dengan orang yang tidak dikasihi adalah penderitaan, tidak mencapai yang
diinginkan adalah penderitaan: dengan singkat, pada dasarnya dalam dunia ini
adalah penderitaan.[4]
2.2.
Ajaran Buddha Tentang Dukkha
Pokok ajaran Buddha Gautama ialah, bahwa
hidup adalah menderita.[5]
Penderitaan secara jasmani disebut dukkha,
dan penderitaan secara batin disebut domanassa.
Setiap orang merasakan akibat dari ketidaksenangan dan kesulitan lainnya.
Penderitaan batin seperti kekhawatiran, depresi, kecewa, dan putus asa juga
disebut dengan domanassa. Penderitaan
timbul karena tidak mendapatkan apa yang diinginkan dan juga tidak menginginkan
apa yang didapatkan. Sebenarnya penderitaan batin lebih hebat dan lebih keras
daripada penderitaan jasmani. Bahkan seseorang yang hidup dalam kemewahan tidak
mampu memikul penderitaan batin.[6]
Penderitaan menjadi pengalaman setiap
orang, juga kesenangan yang kadang-kadang dialami oleh manusia sebenarnya
adalah sumber penderitaan. Sebab tidak ada yang kekal. Sumber kesenangan itu
berada di luar diri manusia. Penderitaan ini disebabkan karena kehausan atau
keinginan, yang menyebabkan adanya penderitaan.[7] Menurut Buddha, nafsu atau keinginan itu,
merupakan penyebab dukkha, orang
bernafsu akan pengalaman yang menyenangkan, nafsu akan benda-benda material,
dan nafsu akan hidup abadi. Apabila terjadi kegagalan dalam pemuasan hal-hal
tersebut maka akan menyebabkan kekecewaan atau penderitaan.[8]
Buddha mengajarkan
bahwa penderitaan itu terdiri dari 3
bagian, yaitu annica, dukkha, dan
anatta[9]
:
2.2.1. Annica
atau Anitya (kefanaan)
Kata ini berarti tidak kekal. Doktrin
ini mengajarkan, bahwa di dalam dunia tiada sesuatu yang kekal, semuanya adalah
fana. Oleh karena itu, maka mahkluk hidup sebenarnya hanya hidup sebentar saja,
lalu lenyap lagi.[10]
Dengan menyadari annica, maka
seseorang akan menyadari bahwa segala sesuatu di alam ini termasuk dirinya
tidaklah kekal dan selalu berubah.[11]
2.2.2. Dukkha (derita)
Pada saat mengalami penderitaan, ada 3
hal yang harus dilakukan bersama-sama, yaitu:
·
Seseorang harus dapat menerima
penderitaan sebagaimana adanya, dengan pengertian bahwa penderitaan itu adalah
akibat dari perbuatannya sendiri, dan juga yang harus diterimanya.
·
Berdoa, dalam arti bertekad untuk dapat
terbebas dari penderitaan tersebut.
·
Berbuat baik, agar pada masa yang akan
datang akan memperoleh buah yang baik pula sehingga dapat pula mengurangi beban
penderitaan yang diterima.[12]
2.2.3. Anatta atau Anatman
(tiada
jiwa)
Kata anatman
berarti tiada jiwa. Jika tiada sesuatu yang tidak berubah maka juga tiada
jiwa yang kekal. Manuisa adalah suatu kelompok yang terdiri dari unsur-unsur
jasmani dan rohani. Di dalamnya tiada suatu pribadi yang tetap.[13]
Kelompok unsur-unsur disebut dengan skandha,
yang terdiri dari:
·
Rupa :
benda, badan (materi)
·
Wedana :
perasaan-perasaan
·
Samnya :
angan-angan (bayangan, tanggapan)
· Samskara :
tenaga penggerak, kemauan (nafsu-nafsu yang menyebabkan karma)
·
Viyana :
keasadaran[14]
2.3.
Jenis-jenis Dukkha
Jenis-jenis dukkha adalah sebagai berikut:
·
Dukkha-dukkha : dukkha sebagai
penderitaan. Biasanya seperti kelahiran, sakit, usia tua, kematian, berpisah
dengan yang dicintai, berkumpul dengan orang yang dibenci, tidak memperoleh
sesuatu yang diinginkan, kesedihan, keluh-kesah, dan kegagalan.
·
Viparinama-dukkha
: dukkha sebagai akibat dari perubahan. Seperti suatu perasaan bahagia pada
waktunya akan berubah dan perubahan ini akan menimbulkan kesedihan, penderitaan
dan ketidakbahagiaan.
·
Sankhara-dukkha
: dukkha sebagai akibat dari keadaan yang bersyarat. Untuk itu, seseorang harus
memahami manusia sebagai gabungan dari lima knandha (yang terdiri atas; badan
jasmani, pikiran, perasaan, pencerahan dan kesadaran).[15]
·
Samisa-dukkha : penderitaan
dengan mata-kail berumpan. Artinya penderitaan yang timbul itu karena hilang
atau lenyapnya objek-objek kesenangan. Itu dapat berupa penderitaan jasmaniah,
seperti terserang penyakit, terluka, kematian atau dapat juga penderitaan yang
berupa penderitaan batiniah, seperti kesedihan, dukacita, dan penyesalan
sebagai kehilangan .
·
Niramisa-dukkha : penderitaan
tanpa mata-kail berumpan. Hal ini disebabkan tidak ada ketenangan batin, yang
berarti penderitaan yang timbul dari suatu usaha untuk berbuat baik, seperti
kesukaran-kesukaran, gangguan-gangguan, dan kesakitan.[16]
2.4.
Sumber dan Penyebab Terjadinya Dukha
Ada di dalam kitab dinyatakan: “Dukkha bersumber kepada tanha (nafsu keinginan)”. Tanha merupakan nafsu keinginan yang
tiada habisnya yang dapat dibedakan menjadi 3 jenis yaitu;
·
Kama-tanha, merupakan
nafsu keinginan akan kenikmatan indra.
·
Bhava-tanha, merupakan
nafsu keinginan akan kelangsungan atau kelahiran kembali.
Penderitaan tersebut disebabkan karena
kehausan, sehingga diajarkan yang disebut dengan pratitya samutpada, yang artinya pokok permulaan. Pratitya samutpada dirumuskan dalam 12
pokok permulaan, yaitu:
1. Menjadi
tua dan mati (jaramaranam)
2. Bergantung
pada kelahiran (jati)
3. Kelahiran
bergantung pada hidup atau eksistensi pada masa lampau (bhawa)
4. Hidup
atau eksistensi yang lampau bergantung pada makan dan minum (upadana)
5. Bergantung pada kehausan (tanha)
6. Kehausan
bergantung pada emosi atau bencana (wedana)
7. Emosi
bergantung pada sentuhan atau kontak (sparsa)
8. Sentuhan
bergantung pada indra dan sasarannya (sadayatanai)
9. Indra
dengan sasaran bergantung pada roh dan benda atau keadaan batin dan lahir (namarupa)
10. Roh
dan benda bergantung pada kesadaran (wijuana)
11. Kesadaran bergantung pada penafsiran atau
penggambaran yang salah (sanskara)
12. Penafsiran
yang salah bergantung pada ketidaktahuan (awidya).[18]
2.5.Peristiwa
Hidup dalam Arti Dukkha Menurut Buddha
Budha mengatakan, baik kaya maupun
miskin, orang biasa maupun berbakat,
semuanya mengalami keadaan berikut ini;
1) Pengalaman
yang menyedihkan (trauma) di waktu lahir
2) Patologi
penyakit
3) Kemurungan
yang timbul karena menjadi tua
4) Ketakutan
akan maut
5) Terikat
pada sesuatu yang ingin kita hindari
6) Terpisah
dari seseorang yang kita cintai[19]
2.6. Dukkha dan Jalan Kelepasan ( 8 Jalan
Kelepasan)
Di dalam penderitaan, maka akan sangat dibutuhkan cara
atau jalan untuk lepas dari penderitaan tersebut. Maka dalam hal tersebut, dikenal ada 8 jalan kebenaran, yaitu:[20]
1. Pengetahuan
yang benar. Hidup ini memerlukan suatu rencana,
suatu peta yang dapat dipercaya oleh akal untuk dapat bergerak maju. Oleh karena
aitu, diperlukan beberapa keyakinan. Keyakinan tersebut adalah Empat Keyakinan
Utama; bahwa penderitaan terdapat dimana-mana, bahwa penderitaan itu
ditimbulkan oleh dorongan untuk hidup serta pemenuhan diri sendiri, bahwa hal
itu dapat disembuhkan, dan bahwa cara penyembuhan ini adalah melalui Delapan
Jalan.
2. Kehendak
yang benar. Jika langkah yang pertama
mengkehendaki agar kita memahami apa yang merupakan masalah dasar kehidupan
ini, yang kedua ini menyarankan agar kita menyadari apa yang sesungguhnya kita
kehendaki. Jika memang dikehendaki kemajuan yang berarti dalam menempuh jalan,
syarat pokoknya ialah keteguhan niat.
3. Perkataan
yang benar. Langkah yang pertama adalah dengan
menyadari pola-pola pembicaraan kita dan apa yang diungkapkan tentang diri kita
sendiri. Caranya ialah, dengan bertekad memperhatikan, berapa kali dalam sehari
kita telah menyimpang dari kebenaran. Arah kedua yang harus dituju oleh
pembicaraan kita adalah ke arah keramahan.
4. Perilaku
yang baik . Mencakup himbauan untuk memahami
perilaku kita sebagai prasyarat untuk memperbaikinya lebih lanjut. Ada bagian
yang memuat ajaran etis dalam hal ini; jangan
membunuh, jangan mencuri, jangan berdusta, jangan menuruti hawa nafsu, dan
jangan minum minuman yang memabukkan.
5. Penghidupan
yang benar. Sama artinya dengan pekerjaan yang
benar,. Buddha berpendapat bahwa kemajuan rohani tidak mungkin tercapai jika
pekerjaan seseorang menariknya ke arah yang berlawanan.
6. Upaya
yang benar. Setiap orang yang sungguh-sungguh ingin
memperoleh kemajuan, harus berusaha sekeras-kerasanya. Ada kebajikan yang harus
dikembangkan, ada hawa nafsu yang harus dipatahkan, dan ada pikiran jahat yang
harus diatasi sekiranya cinta dan perasaan lepas bebas ingin dikembangkan.
7. Pikiran
yang benar. Berbagai cara dianjurkan dalam hal ini.
Seperti seseorang yang mengusahakan pikirannya mengendalikan perasaannya dan
bukan perasaannya yang mengendalikan pikirannya. Ia harus mengisi seluruh dunia
ini hanya dengan pikiran yang cinta akan seluruh mahkluk.
8. Renungan
yang benar. Ini bagaikan semacam peralihan hidup
menjadi mahkluk lain di dalam dunia baru yang bukan main indahnya untuk
didiami. Manusia harus merenungkan dan menyadari, bahwa baik pikiran itu
sendiri maupun kenyataan tidaklah seperti yang disangkanya.
2.7. Empat Kebenaran Mulia
Dalam agama Buddha, ada 4 dasar ajaran dukkha yang disebut dengan 4 Kebenaran Mulia[21]:
·
Dukkha (penderitaan): Hidup
adalah menderita. Kelahiran itu penderitaan, sakit itu penderitaan, mati itu
penderitaan, mati itu penderitaan, berpisah dengan orang yang kita cintai itu
penderitaan, tidak mendapat apa yang kita ingini adalah penderitaan, dengan
singkat kelima unsur keadaan itu adalah penderitaan.
·
Samudya (sebab): Merupakan
sebab timbulnnya dukkha. Penderitaan
ada sebabnya. Yang menyebabkan orang dilahirkan kembali adalah keinginan pada
hidup, dengan disertai nafsu yang mencari kepuasan disana sini, yaitu kehausan
pada kesenangan, kehausan pada yang ada, dan kehausan pada kekuasaan.
·
Nirodha (pemadaman): Pemadaman
kesengsaraan terjadi dengan penghapusan keinginan secara sempurna. Pembuangan
keinginan itu, penyangkalan terhadapnya, pemisahannya dari dirinya, dan tidak
memberi tempat padanya.
·
Marga (kelepasan): Jalan
menuju pemadaman penderitaan ada 8 yaitu; percaya yang benar, maksud yang
benar, kata-kata yang benar, perbuatan yang benar, hidup yang benar, usaha yang
benar, ingatan yang benar, dan semadi yang benar.
III.
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan kami mengenai dukkha, kami para penyaji menarik
kesimpulan, bahwa dukkha ialah
penderitaan. Penderitan yang pada umumnya dianggap berasal dari nafsu-nafsu
keinginan manuisa. Penderitaan dialami oleh setiap mahkluk yang ada di dunia
ini. Tidak ada yang tidak mengalami penderitaan. Semua yang ada pada kehidupan,
pada dasarnya adalah penderitaan. Sehingga dalam penderitaan tersebut
dibutuhkan jalan kelepasan untuk terlepas dari penderitaan. Jalan kelepasan itu disebut
dengan 8 Jalan Kelepasan. Jalan inilah yang dianggap untuk dapat terlepas dari
penderitaan tersebut.
IV.
Refleksi
Theologis
Refleksi theologis yang dapat kami ambil
ialah terambil pada 1 Petrus 4:1-2, yang berbunyi: “Jadi, karena Kristus telah menderita
penderitaan badani, kamu pun harus juga mempersenjatai
dirimu dengan pikiran yang demikian, karena barangsiapa telah menderita
penderitaan badani, ia telah berhenti berbuat dosa. Supaya
waktu yang sisa jangan kamu pergunakan menurut keinginan manusia,
tetapi menurut kehendak Allah
“. Pada ayat ini, kita dituntut untuk mengikuti serta
meneladani sikap Tuhan Yesus. Sebab seperti Tuhan Yesus yang mengalami
penderitaan, adalah untuk kebaikan kita manusia, Ia rela mengalami penderitaan
supaya manusia terlepas dari hukuman dosa. Demikian juga kita untuk tidak
melakukan perbuatan-perbuatan keinginan kita saja, perbuatan-perbuatan yang
mungkin dapat menyebabkan penderitaan saja. Namun untuk mempergunakan waktu
yang tersisa untuk melakukan perbuatan dengan seturut kehendak Allah.
V.
Daftar
Pustaka
Das,
Lama Surya, Awakening The Buddha Within Delapan Langkah
Menuju Pencerahan, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum, 2003
Dhammananda,
Sri, Keyakinan Umat Buddha, Kuala
Lumpur: Ehipassiko Foundation, 2002
Hadiwijono
Harun, Agama Hindu dan Budha, Jakarta:
Gunug Mulia, 2012
Honig,
Jr. A. G., Ilmu Agama, Jakarta:
BPK-GM, 1992
Janakabhivasma,
Ashin, Abhidamma Sehari-hari, Pustaka
Karahiya, 2005
Mahathera, Bhikkhu Sukhemo, dkk., Mengenal Lebih Dekat, Jakarta: Kramat Jaya, 2002
Prajna,
Tatang, Bulir-bulir Ratna Teja Dharma, Jakarta:
Sunyata, 1997
Smith,
Huston, Agama-agama Manusia, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1985
Widya,
Dharma K. & Nanda Widya, Mengenal
Lebih Dekat Anicca-Dukkha-Anatta, Jakarta: Yayasan Dana Pendididkan Buddhis
Nalanda, 2002
[1]Harun
Hadiwijono, Agama Hindu dan Budha,
(Jakarta: Gunug Mulia, 2012), 71
[2]Bhikkhu
Sukhemo Mahathera, dkk., Mengenal Lebih
Dekat, (Jakarta: Kramat Jaya, 2002), 11
[3]Sri
Dhammananda, Keyakinan Umat Buddha,
(Kuala Lumpur: Ehipassiko Foundation, 2002), 113
[4]Harun
Hadiwijono, Agama, 71
[5]Ibid, 71
[6]Ashin
Janakabhivasma, Abhidamma Sehari-hari,
(Pustaka Karahiya, 2005), 55-57
[7]Harun
Hadiwijono, Agama, 71-72
[8]Sri
Dhammananda, Keyakinan, 115
[9]A.
G. Honig Jr., Ilmu Agama, (Jakarta:
BPK-GM, 1992), 197
[10]Harun
Hadiwijono, Agama, 73
[11]Lama
Surya Das, Awakening The Buddha Within Delapan Langkah
Menuju Pencerahan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum, 2003), 103
[12]Bhikkhu
Sukhemo Mahtera, dkk., MengenaL, 25
[13]Harun
Hadiwijono, Agama, 74-75
[14]A.
G. Honig, Jr., Ilmu, 207
[15]Dharma
K. Widya & Nanda Widya, Mengenal
Lebih Dekat Anicca-Dukkha-Anatta, ( Jakarta: Yayasan Dana Pendididkan
Buddhis Nalanda, 2002), 11
[16]
Tatang Prajna, Bulir-bulir Ratna Teja
Dharma, (Jakarta: Sunyata, 1997), 65-66
[17]Dharma
K. Widya & Nanda Widya, Mengenal,
11-12
[18]Harun
Hadiwijono, Agama, 72
[19]Huston
Smith, Agama-agama Manusia,(Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1985), 132-133
[20]
Huston Smith, Agama, 138-145
[21]Harun
Hadiwijono, Agama, 71
Komentar
Posting Komentar
Jika ada tambahan kami sangat menerima dengan senang hati..